Posted in Buku, Edukasi, Essai, Sejarah, Sosial Budaya

Sekolah

Berikut ini akan saya kutipkan tulisan berbilangan waktu 3 Juli 1982 dari seorang Goenawan Mohamad (Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 2, hlm. 244-245). Selamat menikmati.

Dulu, konon orang menyebut sekolah dari kata schole bahasa Yunani. Konon pula kata itu berarti semacam waktu senggang, kesempatan sang guru dan sang murid saling bertemu, memberi dan menerima. Kini, waktu senggang justru semacam pengkhianatan terhadap sekolah. Di seluruh dunia orang tidak tahu lagi kata schole seperti itu. Orang Jepang menyebut masa testing sebagai shiken jigoku, “neraka ujian”. Tiap tahun 700.000 murid mencoba menerobos ke universitas, tentu saja memperebutkan yang top. Tapi di Todai, Universitas Tokyo, hanya ada 14.000 tempat.

Persaingan itu, anakku, memang mengerikan. Sejak umur enam tahun anak-anak Jepang harus menghadapi pelajaran tujuh jam sehari – dan selama 12 tahun mereka harus demikian. Mereka belajar tak putus-putusnya, dan menambah jam yang mencekik itu dengan les tambahan dalam juku.

Di waktu malam, ada anak-anak yang karena takut mengantuk, membiarkan diri diguyur air dingin di kepala. Mereka tak boleh terlalu enak beristirahat. Mereka harus siap untuk sekolah tinggi yang baik, yang berarti jabatan di perusahaan yang baik. Mereka harus keras.

Pernah ada sebuah universitas yang mengirim surat penolakan kepada seorang calon mahasiswa yang gagal: “Anda tak dapat terus hidup kalau anda tidak tangguh.” Tak heran bila di Jepang sana dari tiap 100.000 anak remaja terdapat 17 kasus bunuh diri.

Tapi, nak, barangkali itulah bayaran bagi Jepang. Inilah negeri yang kini disebut No. 1….

Tapi tidakkah itu juga negeri para robot, makhluk cetakan yang hanya disiapkan untuk perusahaan raksasa? Bukankah pendidikan ialah untuk menumbuhkan kepribadian, memperkaya rohani, melatih akal budi dan penalaran? Memelihara terusnya peradaban manusia?

Sekolah pun jadi semacam pabrik, dan sekaligus alat penyaring. Masyarakat, kata orang, mencari mereka yang paling produktif dan paling sanggup meningkatkan pertumbuhan baru. Mereka membuka pintu untuk mendapatkan suatu lapisan terpilih.

Maka ketika kian banyak tenaga yang datang berduyun-duyun mau melewati pintu yang sempit itu, makin banyak pula rintangan dipasang. Dulu tak ada ujian SKALU. Dulu tiap ijazah hampir berarti jaminan ke sekolah yang lebih tinggi. Kini semua itu tak berlaku lagi. Alat-alat penapis baru disiapkan. Tentu saja untuk itu biaya bertambah: masyarakat harus membayar ekstra – sementara tak berarti bahwa tenaga yang lolos akan lebih produktif akibatnya. Tapi mereka tak mengeluh juga rupanya.

Karena pilihan masih lebih luas dari sekedar atau – jadi – robot – atau – hara-kiri, anakku. Dan itu berarti harapan, mungkin setelah kegagalan. Setidaknya itulah doaku, anakku, dan rasa syukurku….

Berikut ini akan saya kutipkan tulisan dari seorang Onghokham (Tempo, Cerita Di Balik Dapur Tempo 15 Tahun (1971-1986), hlm. 163-164). Selamat menikmati.

Para jebolan (drop-out), entah dari SD SLP/SLA atau universitas, kini merupakan suatu soal, dan mengandung konotasi yang jelek. Padahal, sebenarnya banyak pihak swasta yang berhasil adalah para jebolan. Majalah Tempo sendiri mula-mula, adalah kumpulan para jebolan. Goenawan Mohamad jebolan Fakultas Psikologi UI; Fikri Jufri jebolan Fakultas Ekonomi UI; Salim Said waktu bergabung dengan Tempo seorang calon jebolan yang kuat, tapi akhirnya menyelesaikan studinya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP UI) dan baru kembali dari Ohio University dengan Ph.D. dalam ilmu politik. Ada beberapa lagi, seperti Isma Sawitri, atau Toeti Kakuailatu-yang sudah selesai dengan studinya dalam ilmu antropologi dan FS UI. Para jebolan itu sangat berhasil dalam mengelola majalah Tempo yang dikatakan terbaik di negara ini. Keberhasilan di swasta sering tidak ada hubungan dengan dunia akademis- biarpun bisa, tentunya. Ini membuktikan bahwa selain di universitas, di samping lembaga pendidikan apa pun kehidupan sendiri dan energi sendiri merupakan suatu bekal pematangan intelektual.

Justru mungkin karena tokoh tokoh Tempo berada di luar universitas, dan tertutupnya karier-karier akademis dan pegawai negeri, mereka harus dapat lebih membuktikan diri daripada orang di dalam karier mapan. Ataukah karier-karier mapan ini demikian memenjarakan orang sehingga pun yang paling berbakat harus hanya mengikuti jenjang kenaikan pangkat atas dasar senioritas tanpa perlu membuktikan karya? Sejarah intelektual dan politik Indonesia tidak dapat dimengerti sepenuhnya tanpa memperhitungkan orang-orang jebolan brilyannya. Contoh utama: Sutan Sjahrir, Soedjatmoko, Soedarpo, dan lain-lain. Orang pergerakan, biarpun menyelesaikan karier akademisnya, seperti Soekarno, Hatta, Sastroamidjojo, dan Sartono, mungkin juga dianggap jebolan dalam karier kepegawaian Hindia Belanda.

Berikut ini akan saya kutipkan tulisan berbilangan waktu 19 Agustus 1978 dari seorang Goenawan Mohamad (Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 1, hlm. 357-359). Selamat menikmati.

Untuk apa belajar ilmu ukur?

Tapi pak kepala sekolah itu rupanya tahu bahwa anak-anak akan diam. Maka suaranya pun seperti bergumam, ketika ia menyelesaikan sendiri pertanyaan yang ia lontarkan tadi: “Kamu semua belajar ilmu ukur bukan untuk jadi insinyur. Tapi supaya terlatih berpikir logis, yaitu teratur.”

Lalu, dengan antusiasme mengajar yang khas padanya, ia pun menjelaskan. Satu soal misalnya menyebutkan hal-hal yang sudah diketahui dari sebuah bangunan geometri. Ada rumus-rumus yang menyimpulkan pelbagai hubungan dalam bangunan seperti itu. Nah, jika anak-anak diminta membuktikan suatu hal dari dalam soal itu, mereka harus berpikir secara teratur: dari hal-hal yang sudah diketahui sampai kesimpulan bisa ditarik.

Ilusi yang terpokok ialah ilusi tentang pendidikan sekolah serta tujuannya. Sudah tentu salah bahwa tujuan bersekolah di universitas adalah untuk mendapatkan gelar. Tapi tak kurang salahnya untuk mengira bahwa di universitas orang akan menemukan pusat ilmu, ataupun puncak pendidikan keterampilan.

Sebab bak kata Rasul Tuhan, orang harus mencari ilmu dari buaian sampai ke liang lahad. Dewasa ini para pemikir pendidikan juga berbicara tentang “pendidikan seumur hidup”. Dan dalam proses itu, universitas hanyalah sepotong kecil. Seorang doktorandus, seorang PhD, barulah mengambil bekal untuk perjalanan panjang yang sebenarnya. Mereka belum selesai- juga belum selesai bodohnya.

Karena itu seandainya Pak Susman masih hidup, ia pasti akan bilang “Kamu masuk universitas, itu supaya bisa terlatih berpikir ilmiah.” Itu saja, kalau dapat.

Demikianlah isi dari blog saya pada kesempatan ini. Saya tidak berpanjang kata menjelaskan rupa hal terkait frasa ‘sekolah’. Biarlah para pemikir yang saya kutipkan yang membedah dan mendedah tentang kata sekolah. Contekan pemikiran saya demikian adanya. Bagaimana dengan contekan pemikiran Anda?