Posted in Essai, Fiksi Fantasi, Politik

Sisi Politik Voldemort

Membaca kisah Harry Potter yang termasyhur sebagai novel fiksi fantasi best seller selayaknya perlu dicermati secara kerangka keilmuan. Sebagai kisah fantasi yang memiliki basis mitologi, novel Harry Potter mungkin telah dimafhumi bersama. Dalam kesempatan ini saya akan mencoba mengurai sisi politik dari kisah yang digagas oleh Joanne Kathleen Rowling ini. Adapun unit analisanya ialah sang antagonis utama: Voldemort. Menurut Aristoteles setiap manusia adalah zoon politikon (makhluk yang berpolitik). Pun begitu dengan Voldemort yang melakukan movement-movement politik dalam mencengkramkan terornya.

Nama

Sebuah nama adalah cerita. Voldemort bukan sekedar nama tunggal. Jika dikomparasikan dengan beberapa penguasa di dunia nyata, mereka memiliki beberapa nama. Soekarno memiliki sejumlah nama lainnya yakni: Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Tertinggi dari angkatan bersenjata, doktor honoris causa dalam bidang tauhid, wali al-amri dharuri bi al-syaukah, Paduka Yang Mulia Presiden (Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, hlm. 373-435). Soeharto dengan Bapak Pembangunan. Sedangkan di belahan dunia lainnya, kultus individu dapat berupa sebagai berikut (Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir Tempo Edisi 21 Juni 2010):

Tentang Stalin, seorang penyair menulis, dengan hiperbol lain:

Wahai, Stalin yang agung
Tuan-lah yang menyuburkan tanah
Tuan-lah yang memulihkan abad
Tuan-lah yang mengembangkan bunga di Musim Semi

Tentang Mao, seorang prajurit yang diangkat jadi manusia tauladan oleh Partai, Li Feng, menulis catatan hariannya yang terdiri atas 200.000 kata. Hampir semuanya penuh pujaan:

”Bagiku, karya Ketua Mao ibarat makanan, senjata, dan kemudi. Kita harus makan dan dalam berperang kita harus bersenjata. Tanpa kemudi, kita tak dapat mengendarai mobil, dan tanpa mempelajari karya Mao Zedong orang tak dapat menempuh karier revolusioner.”

Nama lain yang melekat pada diri penguasa dirasakan perlu untuk mendefinisikan dan mengukuhkan pengaruhnya di tengah massa. Nama lain juga merupakan sebuah bentuk kultus individu yang memungkinkannya dipuja dan dielu-elukan oleh massa pendukungnya.

Voldemort memiliki beberapa nama lain yang menambah bobot keangkerannya. Kau Tahu Siapa, Dia yang namanya tak boleh disebut, menjadi labelling yang membiakkan teror di masyarakat. Lihat saja bagaimana bahkan untuk sekadar menyebutkan namanya saja ada getaran ketakutan dan ancaman yang senantiasa. Di seri terakhirnya nama Voldemort ditandai (melalui Mantra Caterwauling- Lihat Harry Potter dan Relikui Kematian, hlm. 736), bahwa siapapun yang mengucapkannya akan segera terdeteksi dan bersiaplah dengan sekompi pelahap maut. Dengan demikian nama Voldemort menjadi barometer siapa yang berani memberontak dan melawan kuasanya.

Tom Marvollo Riddle merupakan nama asli dari Voldemort. Lalu ketika ia mengenyam pendidikan di Hogwarts, ia mengkreasi namanya menjadi Voldemort. Voldemort merupakan nama baru untuk Tom Marvollo Riddle, dimana ia memiliki angan suatu waktu semua penyihir di manapun tak akan berani menyebutnya. Dalam edisi Harry Potter dan Kamar Rahasia hal ini terkonfirmasi bagaimana sebuah anagram tersembunyi yang cerdas. Anagram itu adalah (J.K.Rowling, Harry Potter dan Kamar Rahasia, hlm. 390): Tom Marvollo Riddle menjadi I Am Lord Voldemort.

Clusterisasi

Penguasa yang otoriter menciptakan clusterisasi dimana mereka yang teridentifikasi di cerukan tertentu merupakan pihak musuh. Contohnya dalam Orde Baru terdapat istilah ekstrem kiri (komunisme, marxisme, leninisme) dan ekstrem kanan (Islam garis keras). Pada era demokrasi terpimpin terdapat istilah kontra revolusioner, antek neo imperialisme, subversif. Maka pada sekelumit era tersebut beberapa idiom berdesakan: ganyang, berangus. Clusterisasi yang dilakukan penguasa otoriter tentunya layak dipertanyakan dan diperdebatkan. Belum lagi dengan sapuan imbas yang dapat meringkus korban rakyat kebanyakan yang lugu. Mengutip pendapat Goenawan Mohamad, ‘Untuk itulah ikhitair dikerahkan, agar sikap dan pikiran bisa dipermak. Propaganda dibikin, penataran diselenggarakan, indoktrinasi didesak-desakkan, kadang dengan rayuan, kadang dengan teror. Kontrol dan pengawasan diperketat, dan apa yang disebut “totaliterisme” lahir. Ambisinya: mengontrol pikiran, ingatan, bahkan perasaan, orang-orang di suatu masyarakat secara penuh (Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 2, hlm. 81-82).

Voldemort dengan jelas menarik garis demarkasi siapa musuhnya. Melalui Komisi Registrasi Kelahiran-Muggle, maka mereka yang berdarah lumpur dan tidak murni dapat terseret menjadi pesakitan. Eksesnya ialah cekaman ketakutan massal dan pelarian dari mereka yang berdarah lumpur. Para penyihir harus menunjukkan bahwa dirinya benar-benar memiliki darah keturunan penyihir. Akibatnya orang seperti Hermione Granger menjadi diburu. Hermione sendiri kedua orangtuanya merupakan Muggle.

Tengoklah propaganda yang dilakukan melalui pamflet (J.K.Rowling, Harry Potter dan Relikui Kematian, hlm. 332):

DARAH-LUMPUR

Dan Bahaya yang Mereka Paparkan bagi
Masyarakat Darah-Murni yang Damai

Di bawah judul itu ada gambar sekuntum mawar merah, dengan wajah tersenyum simpul di tengah-tengah kelopak bunganya, sedang dicekik oleh rumput liar hijau yang bertaring dan pandangannya galak.

Memetakan musuh dari negara serta membiakkan ketakutan di massa merupakan tujuan dari clusterisasi. Dan Voldemort berhasil melakukannya dengan apik. Pembersihan dilakukan di segala lini. Hogwarts yang memiliki basis filosofis terbuka bagi penyihir tanpa memandang darah murni atau campuran terkena imbasnya. Hal yang merupakan perpanjangan ekspektasi dari Salazar Slytherin dahulu kala bahwa Hogwarts selayaknya diisi oleh para penyihir berdarah murni.

Media

Alvin Toeffler membagi tiga gelombang peradaban yakni pertanian, industri, dan informasi. Informasi dirasa penting karena dapat mempengaruhi persepsi dan penilaian. Jika mengutip quotes dari Menteri Propaganda Nazi Jerman Dr.Josef Goebels, “Jika sebuah kebohongan terus menerus diceritakan hingga terdengar luas di masyarakat, lama kelamaan masyarakat akan menyakini kebohongan itu sebagai sebuah kebenaran”. Dengan demikian intensitas dan massifikasi informasi dapat menjadi seolah-olah itu adalah kebenaran. Media sendiri pada prakteknya dapat digunakan sebagai perangkat melanggengkan kekuasaan. Pada masa Orde Baru misalnya dengan budaya telepon, dimana media harus mengikuti arahan dari pemerintah berkuasa. Jika menurunkan berita yang membahayakan maka pemerintah akan mengeluarkan ancaman. Ekses langsungnya ialah arus informasi menjadi begitu dikendalikan oleh pemerintah.

Pemerintah pada era Orde Baru memiliki kanal melalui TVRI yang menjangkau nusantara. Dengan demikian seperti diistilahkan oleh sejarawan Asvi Warman Adam terjadi hegemoni makna dan wacana. Pada serial Harry Potter, harian daily prophet merupakan corong yang digunakan oleh pemerintah berkuasa untuk menyuarakan gagasannya. Ketika pemerintahan telah dikudeta di bawah pemerintahan yang sejatinya dipimpin Voldemort terjadi hegemoni makna dan wacana. Harry Potter menjadi Yang Tak Diinginkan No.1. Alasan yang dikemukakan ialah untuk dimintai keterangannya tentang kematian Albus Dumbledore.

Dengan massifikasi informasi tersebut, kalangan penyihir juga mengalami keraguan terhadap Harry Potter. Ada yang percaya Potter bersalah dalam kematian Dumbledore, ada yang mempertanyakan jika dirinya tidak bersalah mengapa harus lari dan menghilang dari peredaran. Melalui penguasaan informasi inilah Voldemort ingin mematikan bibit perlawanan mulai dari tingkat wacana. Kudeta yang dilakukan Voldemort sendiri berhasil dibahasakan dengan halus bahwa Rufus Scrimgeour mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan kepada Pius Thicknesse.

Hal tersebut dinarasikan oleh J.K.Rowling sebagai berikut (J.K.Rowling, Harry Potter dan Relikui Kematian, hlm. 278-279):

“Kudeta ini lancar dan benar-benar diam-diam,” kata Lupin. “Versi resmi tentang pembunuhan Scrimgeour adalah bahwa dia mengundurkan diri. Dia digantikan oleh Pius Thicknesse, yang di bawah Kutukan Imperius.”

…”Ya, Voldemort memainkan permainan yang sangat cerdik. Menyatakan diri barangkali akan memprovokasi pemberontakan terbuka. Tetapi tersembunyi telah menciptakan kebingungan, ketidakpastian, dan ketakutan.”

…”Sekarang setelah Dumbledore meninggal, kau-Anak Laki-Laki yang Bertahan Hidup-pasti menjadi simbol dan pusat bagi semua perlawanan terhadap Voldemort. Tapi dengan memberi kesan kau punya andil dalam kematian si pahlawan tua, Voldemort tidak hanya memasang harga di atas kepalamu, tetapi juga menyebar bibit keraguan dan ketakutan diantara banyak orang yang semula akan membelamu.

Voldemort boleh dibilang memainkan kartu politiknya dengan baik. Sekurangnya Voldemort memainkan kartu politiknya melalui lini nama, clusterisasi, dan media. Voldemort nyatanya tidak sekadar pandai merapalkan mantra, melainkan juga piawai melakukan purna rupa tindakan politik.

{fin}

Kalfa (Kaldera Fantasi) merupakan komunitas dengan titik fokus pada fiksi fantasi. Ada beberapa distrik yang kami coba jelajahi yakni: Buku-Film-Games-Japan/Anime-Komik.

Hadir juga di http://www.facebook.com/groups/kalfa