Becermin dari Biografi Kritis Mochtar Lubis

Beberapa hari yang lalu anak saya membuka pintu lemari buku. Ia meminta untuk mengambilkan sebuah buku. Entah karena alasan apa, anak saya yang berusia 27 bulan memilih Jurnalisme dan Politik di Indonesia. Biografi kritis Mochtar Lubis (1922-2004) sebagai pemimpin redaksi dan pengarang. Buku karya David T.Hill tersebut masih disampul plastik dengan warna sampul dominan ungu.

Atas permintaan anak saya (yang suka mengutak-atik), saya pun membuka sampul plastiknya. Beberapa halaman untuk kemudian sekilasan saya baca. Ada dua sensasi ketika itu, betapa ini salah satu buku yang telah sekian lama saya beli, namun belum dibaca dengan sungguh. Sensasi lainnya, dari sekilasan membaca, saya pun rindu tersendiri dengan masa-masa ketika kuliah, membaca aneka pemikiran.

Saya mulai membaca buku biografi Mochtar Lubis tersebut dengan sungguh semalam. Beberapa poin saya kutipkan karena menarik jadi perenungan. Pada halaman 6 tertulis sebagai berikut:

Mochtar Lubis membentak kalangan dalam kekuasaan yang mengklaim diri sebagai abdi rakyat, pembela keadilan dan tegaknya hukum; dalam praktik mreka egois, jahat, haus kuasa, dan serakah. ‘Kita biarkan elite kita ini memerkaya diri mereka dari tahun ke tahun, melakukan korupsi dan mencuri hak dan milik rakyat, semakin lama semakin besar,’ ia menyatakan, dengan menggarisbawahi petuah Gandhi, yang dibacakan dalam bahasa aslinya Inggris, ‘Earth provides enough for everyone’s need, but not for everyman’s greed.’ (Bumi menyediakan cukup untuk kebutuhan setiap orang, tetapi tidak bagi keserakahan setiap manusia).

Lalu saya kutipkan lagi pada halaman 7 tertulis sebagai berikut:

‘Semakin kita ditarik ke dalam arus konsumerisme negara-negara kaya,’ ia berseru, ‘semakin kita membuat diri kita lebih bergantung pada bantuan mereka, apakah dalam bentuk modal atau teknologi, semakin kita membuat keamanan kita bergantung pada persenjataan mereka, semakin kita melemahkan kemampuan kita untuk melindungi individualitas kita sebagai suatu bangsa dan sebagai rakyat dan semakin kita terpuruk ke dalam ketergantungan kepada mereka.’ Pidatonya merupakan seruan yang membangkitkan gelora semangat warga sebangsanya untuk berjuang bagi Indonesia berdasarkan demokrasi, diperintah secara rasional, bertanggung jawab pada lingkungan, independen secara internasional, dan bangga bersikap egaliter.

Indonesia baru saja merayakan kemerdekaan yang ke-76, rasa-rasanya dua petikan kalimat di atas, merupakan kaca untuk becermin serta melakukan refleksi.

Bukan Bucin, Tapi Budak Teknologi?

Ketika sudah lulus kuliah berbilang tahun yang lalu, timbul kerinduan tersendiri untuk membaca buku di masa menempuh ilmu. Di antaranya adalah “Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan” karya Ahmad Suhelmi. Terdapat kesempatan untuk merampungkan buku yang bagi saya memikat secara diksi dan pemikiran.

Berikut saya kutipkan mengenai poin yang layak menjadi perenungan, yakni terkait New Left. Salah satu ciri New Left yakni kecenderungan anti teknologi modern.

Berikut saya kutipkan dari bukunya pada halaman 380 s.d. 381:

Teknologi modern dalam konteks ini dipahami sebagai suatu proses sosial, bukan semata mesin-mesin, teknik-teknik industri, transportasi atau komunikasi saja melainkan jauh lebih luas. Mengikuti pandangan Marcuse, New Left menilai teknologi sebagai sebuah mode produksi dan totalitas instrumen yang membentuk karakter dasar ‘zaman mesin’ dan kuat mempengaruhi mode-mode organisasi maupun hubungan-hubungan sosial, pemikiran, pola-pola tingkah laku individu dalam masyarakat. Tanpa disadari, teknologi menjadi instrumen (alat) kontrol dan dominasi.

New Left memandang teknologi membuat manusia ‘tidak alamiah lagi’ dan tidak mengontrol teknologi namun sebaliknya dikontrol oleh teknologi. Dengan kata lain, manusia menjadi budak teknologi yang diciptakannya sendiri. Sisi-sisi kemanusiaan individu lenyap digantikan oleh logika teknologi yang kaku dan mekanis.

Beberapa hari sebelumnya, saya membaca Catatan Pinggir dari Goenawan Mohamad. Ada kemiripan ide dari buku “Pemikiran Politik Barat” yang saya kutipkan di atas. Berikut saya kutipkan beberapa buah pikiran dari GM:

…Hari-hari ini kenyataan itu makin genting: pada dasarnya kita tak berdaulat. Kita, subyek, hanya sehimpun data, yang bisa diakses teknologi informasi, dimanipulasi dengan algoritma.

Dengan data yang dihimpun profil kita terbentuk: kita gemar musik Tohpati dan Dewa Budjana, suka membaca novel Dee dan Catatan Pinggir, kita peminum setia kopi Sarongge jenis Ki Hujan, dan pengagum perempuan kurus. Dari sana segera datang, lewat Internet, tawaran yang sesuai dengan profil itu. Tawaran itu membimbng kita ke dalam apa yang “pantas” kita minati dan pilih. Ada sebuah mesin dengan kecerdasan luar biasa yang tampaknya lebih tahu tentang diri kita dan seluk-beluknya—lebih tahu ketimbang kita sendiri.

Dalam La fin de l’individu: Voyage d’un philosophe au pays de l’intelligence artificielle yang terbit dua tahun yang lalu, Gaspar Koenig berbicara tentang “feodalisme digital”: beberapa pemilik modal dan penguasa teknologi, dengan pesona mesin dan bahasa teknis yang canggih, mengendalikan jutaan manusia. Banyak yang tanpa berpikir menghambakan diri. AI, kata Koenig, makin mampu menilai diri sendiri dan masyarakat makin menyerahkan keputusan kepadanya. Konsep tentang “kehendak bebas” manusia dihapus dalam konsensus baru ilmu-ilmu.

Maka ketika gaung 4.0 dimana-mana, ataupun Society 5.0, saya pun teringat pada rangkaian hal berikut ini: novel “1984” karya George Orwell, polisi virtual, buzzer. Bagaimana dengan Anda?