Menunggu di Beranda

1 Syawal

Uban di genggaman

Menunggu hingga petang

Anak yang tak kunjung bertandang

            Menunggu di beranda

            Di titik yang sama ketika dulu anaknya pulang,

            pulang sekolah,

            pulang bekerja,

            pulang dari luar kota

1 Syawal

Mengapa ia masih menunggu?

Anak yang telah berpulang

Rindu

& kenangan yang menyeruak di mata

Berputar kembali di jiwa

Menunggu di Halte

Aku suka halte

& menunggu

Mengamati manusia

            Orang-orang yang belum sampai di tujuannya

            Resah

            Berharap

            Menanti

Seperti hidup,

yang akan mengantarkanmu ke halte berikutnya: mati

Negeri yang Molek

Aku hanya melukis tentang keindahan

Negeri yang molek

            Alamnya yang hijau

            Binatangnya yang beragam

Aku suka melihat singa,

Kuda

Para peziarah dalam perjalanan

            Aku hanya melukis tentang keindahan

            Debur suara air laut

            Menghantam karang yang kokoh

            Pasir

            Aroma pantai

            Menatapnya dari ketinggian

            Samudra

Aku hanya ingin melukis mereka yang tersenyum

Tubuh yang berisi, montok

            Kain hitam kubebatkan kuat-kuat,

            Pada “mata”

            Pada “rasa”

            Pada pendengaran

            Pada aroma

Keringat,

yang asin

Tangisan

Keluhan

Gugatan

Desakan

Mereka yang melawan,

dengan sia-sia

tapi melawan,

Menerjang

            Aku hanya melukis tentang keindahan

            Negeri yang molek

Aku menangis dalam keindahan itu

Di negeri yang molek

Kecut?

Pengecut?

Takut?

Tidak, aku hanya berhitung

            Aku butuh warna hijau, untuk rimbunnya pepohonan

            Aku butuh warna biru, untuk birunya laut

            Warna merah kusimpan, aku tak cukup nyali

            melihat darahku tertumpah

Maka, aku melukis, melukis, melukis

Perihal negeri yang molek

            Ini negeri siapa, tuan?

            Ini negeri siapa, puan?

Kupu-kupu dari Kata-kata

Mereka membuat kupu-kupu dari kata-kata

Begitu indah, denyut kehidupan

            Semula adalah nyali-nyali kosong

            Perahu yang sekadar berlayar

            Meniti hari, tanpa arah pasti

Hingga kata-kata itu datang, dari mereka yang diasingkan

Si kutu buku tepat waktu

Si sosial, lagi hobi membentuk kader

Jiwa-jiwa yang diajarkan untuk merdeka

Menyelami lautan mutiara kata-kata

Menyala bersama gelora semangat yang meriap

            Transformasi manusia

            Yang setara

            Yang egaliter

            Mereka memanggil kami ‘bung’

            Kami memanggil mereka ‘bung’

Lalu, langit tak lagi sama

Segala bentang alam tak lagi sama

Kami bernapas tidak dengan belenggu

Pekik kami menggedor udara: merdekalah, setaralah!

Memang Masih Ada yang Membaca Puisi?

Tak ada waktu untuk menulis puisi

Di zaman kiwari ini, memang masih ada yang membaca puisi?

Bukannya sudah sibuk ya dengan tuntutan ini-itu?

            Istriku menyuruhku tidur

            Lampu masih menyala

            Kepalaku masih berkutat dengan kata-kata

            Mengupas kata ini

            Memilah-memilih diksi itu

Saat sunyi, kata-kata mekar

Keresahan mewujud melingkar pada kata yang berhamburan di tinta, di kertas

            Puisi berlapis-lapis dierami, tercipta berkali-kali

            Adakah guna duhai kata-kata, kau menapak di bumi?

Rumah Lama

Dari beranda, melihat mobil yang melintas

Rumah lama

            Di sana ada aku & bapak berhitung mobil yang melintas

            Di bangku masing-masing

Tak ada yang tergesa saat itu

Menikmati waktu

            Membaca koran

            Tidur siang

            Saatnya makan

Ah, hidup pernah se-santuy itu