Permainan Bayangan

Apa yang kau lihat

Apa yang mereka lihat

            Bukankah ilusi itu nyata?

            Dan kita hidup dalam gelembung ilusi-ilusi itu

Ketika kecil kita bermain permainan bayangan itu

Di tembok ada rupa-rupa bentuk yang dihasilkan

Lalu kini, mana yang kau percaya, bayangan di tembok atau kenyataan di matamu yang biasa-biasa saja?

            Kita butuh ilusi-ilusi itu

            Untuk menipu diri sendiri bahwa on the right track, semua baik-baik saja

            Atau kau yang begitu saja menerima kenyataan di suatu pagi yang biasa

Pangkas Rambut

Kau tahu apa hal yang cukup kuribetkan? Menggunting rambut. Maka aku pun kerap membiarkan rambutku tumbuh lebat.

Dalam beberapa menit di tukang cukur itu, dirimu seakan tunduk. Seberkuasa apa pun asal usulnya. Aku pun teringat konsep di buku “Pemikiran Politik Barat”, bahwa seberkuasa apa pun, tentu punya kelemahan – tentu si orang berkuasa itu butuh tidur, di situlah kelemahannya.

Ide “menyerahkan kepala” kepada orang lain. Mungkin aku terlalu berlebihan. Namun, dalam beberapa menit itu ada barisan titik dimana aku hanya bisa pasrah, berserah.

Kendali. Menentukan nasib sendiri. benarkah kita bisa melakukannya dengan merdeka 100%. Pada beberapa bagian, ada keterkaitan keterikatan dengan hal-hal yang berada di luar kendali kita.

Pada beberapa hal, kita hanya dapat bertaruh. Menaruh telur di salah satu keranjang. Mungkin saja kita kalah bertaruh.

Qada & Qadar. Ikhtiar & tawakal. Mungkin seharusnya saya lebih rileks menghadapi tukang pangkas rambut itu. Sama halnya kala mendayung di samudera bernama dunia ini.

Aku Hanya Bisa Menerka

Burung-burung di jembatan itu, merayakan, entah apa. Aku tak bisa bahasa burung. Ini bukan kisah fantasi dimana satwa bisa bicara bahasa manusia. Aku adalah aku, bukan Sulaiman yang mengerti curhatan semut dan binatang lainnya.

Aku hanya bisa menerka. Tentang mereka yang terbang bersama. Tidak sunyi dalam sayap-sayap patah. Jangan-jangan filosofi mereka: Mangan Ora Mangan Kumpul.

Aku hanya bisa menerka. Mereka gembira hinggap di jembatan karena semangat jembatan: menghubungkan. Berapa banyak berai yang terjadi? Karena apa yang di kepala, perkataan, ambisi. Burung-burung itu merayakan silaturahmi.

Di peradaban besi dan baja, adakah ruang untuk alam? Pohon-pohon dan binatang yang dipersilakan menyingkir. Lalu warga kota itu merasa begitu langka melihat burung bebas dalam pandangan mata dekat. Mungkin burung-burung itu telah terbang jauh..jauh..mencari tempat. Sementara peradaban besi dan baja merangsek ke ruang hidup mereka.

Besi, baja, burung. Senyawa itu hanya ilusi, yang bertaut di lukisan ini. Aku hanya bisa menerka.

Mimpi-mimpi dari Masa Lalumu

Untukmu yang selalu sibuk. Scrolling media sosial, atensi yang menarikmu lagi, lagi, lagi, lagi. Yang melihat “rumput tetangga” hijau, permai.

Yang tersibukkan waktu di dunia tipu-tipu ini.

Riuh siap menyergapmu dari berbagai segi. Bising di kepala, bising dimana-mana.

“Namanya juga lyfe,” tuturmu singkat.

Sandwich generation. Ini uang lalu berbagai pos siap menyerapnya.

8 jam sehari adalah ilusi. Kepala yang senantiasa terjaga.

“Siapa kau?” tanyamu menyelidik.

“Aku mimpi-mimpi dari masa lalumu,” jawabku.

“Seperti Kugy, Keenan, yang sempat kehilangan kompas cita-cita, kemudi itu bisa kembali kau temukan. Turuti kata hatimu. Seni untuk seni,” lanjutku tak memberi jeda.

Kau hanya tertawa seperti rona suara Joker. (Orang baik yang tersakiti – pikirku?).

“Bersama waktu, kau dapat tumbuh menjadi seseorang yang kau benci dan kau takuti. Tapi kau pun sadar, itu adalah caramu untuk bertahan di lyfe ini,” ujarmu.

Ia menyumpal telinganya dengan musik. Menyibukkan dirinya dengan scrolling. Ia sibukkan pikirannya. Ia kubur suara mimpi masa lalu itu.

“Ada masanya mimpi-mimpi itu membuatku hidup, memberiku alasan. Tapi tidak lagi kini,” kata penghabisan yang menimbun mimpi-mimpi itu, memadamkannya tegas dan jelas.

Perjalananmu, Perjalananku

“Hati-hati di jalan,” pesanmu sebelum aku bergerak masuk ke kereta itu.

Pesan standar, tapi aku tahu diksi itu begitu berbeda. Ini salam perpisahan.

Identik dengan lirik lagu “sejuta umat itu”: Kau melanjutkan perjalananmu. Ku melanjutkan perjalananku.

Sekuat daya aku mengupayakanmu, dan here we go: hati-hati di jalan.

Di bifurkasi itu, ada khawatir dan kecamuk perasaan. Namun, satu pintu harus ditutup untuk melanjutkan perjalanan lainnya.

Berpisah jalan terlihat rumit, berat kala itu. Tapi, seiring timbunan waktu, pemahaman, dan kesadaran, kita pun tahu ini opsi terbaik.

Beberapa waktu kemudian…

Aku yang kini melihat dari kejauhan.

“Hati-hati di jalan,” bisikku seakan mengirim kata via udara.

Kau melanjutkan perjalananmu. Ku melanjutkan perjalananku.