Aku dari Masa Lalu

Aku dari masa lalu datang menjengukku

Dia/aku bertanya bagaimana 2020?

Aku melihat diriku kini

Aku menatap dia/aku

            Hidup bukanlah garis lurus terus

            Berbaur, meramu, bertubrukan narasi-narasi

Masa lalu, masa kini, masa depan, bagaikan dimasukkan dalam blender

Selamat menikmati rasa ini

Media Sosial dan Distraksinya

Media sosial seperti lazim diketahui bak pisau bermata dua. Sisi negatifnya yakni dapat menggerus produktivitas dan konsentrasi. Berapa banyak waktu yang tercecer untuk terlena pada media sosial? Sedangkan pekerjaan, tugas belajar menjadi terpinggirkan jadinya. Belum lagi dengan lalu lintas pikiran dan perdebatan yang bisa berhulu dari media sosial.

Bagaimana dengan Anda, akankah mengkaji ulang jam-jam Anda bersama media sosial? Dikenal pula istilah diet media sosial. Anda bisa men-googling untuk mengetahui hal tersebut. Bagi penyedia platform media sosial tentu berkepentingan agar konsumen menyediakan waktu di tempatnya. Beberapa fitur pun “menggoda” untuk ditelusuri, Anda dan saya pun bisa tersesat waktu berlama-lama di sana.

Mungkinkah itu godaan “manusia modern”? Dengan keberlimpahan konten di media sosial, bagaimana switch begitu cepat terjadi. Arus informasi begitu menderas, dari kanal berita, selebritis, teman; yang bisa jadi informasi-informasi itu tak perlu-perlu amat ditelaah.

Tentu bukan berarti ketika berbicara tentang media sosial, hanya yang buruk-buruk saja. Dari media sosial, berbagai tips pun diamplifikasi. Diantaranya yang saya dapatkan ialah dengan meminimalisir distraksi dari media sosial. Saya mencoba menerapkannya dengan meniarapkan ponsel saya, menonaktifkan whatsapp web, semua itu dilakukan ketika saya perlu berfokus untuk menulis dan membaca.

Saya percaya terkait menulis dan membaca; merupakan ranah yang memerlukan konsentrasi. Maka penggunaan media sosial yang bijak diperlukan, jika ingin berdaya dalam menulis dan membaca. Membaca dan menulis bak berada di dimensi yang lain, di mana perlu menjaga jarak tertentu terhadap kebisingan media sosial. Jika meminjam diksi Dewi Lestari, perihal menulis bak ke gua penciptaan yang dijuluki “batcave”. Menulis dan membaca, bukan berarti memutus koneksi dengan internet. Saya pribadi untuk menulis, kerap memerlukan internet, mulai dari mencari data, memeriksa ejaan, memastikan ide di ingatan/pikiran saya valid dengan pengetahuan yang ada, dan sebagainya. Sedangkan untuk membaca, jika sedang melakukannya secara digital, perlu berkelana dari satu situs ke situs lainnya. Meski begitu segala distraksi dari media sosial perlu untuk diantisipasi agar tidak kehilangan fokus dan konsentrasi terhadap apa yang dibaca dan mau ditulis.

Vakansi

Di antara hiruk pikuk rutinitas, orbit yang itu-itu, dibutuhkan vakansi. Beranjak ke luar kota ataupun di dalam kota. Mengambil jarak dari hal harian yang dilakukan terus menerus. Suatu waktu saya mendapatkan tugas liputan SLB di Bali, pengambilan data dapat dilakukan satu hari, sisanya saya memiliki waktu luang. Saya baru kembali ke Jakarta esok siangnya. Selepas liputan, apa yang saya lakukan? Apakah saya beranjangsana ke tempat-tempat wisata yang ada di Bali? Saya memilih mukim saja di kamar hotel hehe..Sekadar membeli makanan, minuman di luar hotel. Lalu saya menghabiskan jam demi jam di kamar hotel. Menonton tayangan di tv kabel, membaca, tidur, meresapi orbit waktu dengan kegiatan yang tidak diburu-buru.

Saya pun merasakan gembira dengan pascaliputan tersebut yang bak vakansi bergizi. Menikmati vakansi memang bisa bermacam-macam caranya. Ada yang bak penaklukan dengan sejumlah spot yang harus dicentang. Ada yang mencari suasana berbeda, dan lain sebagainya. Ragam menikmati vakansi tersebut berakar dari karakter, isi dompet, serta pilihan di kala itu.

Staycation juga menjadi pilihan untuk melakoni vakansi. Bagaimana sebuah kota yang kita kira akrab dan kenal, ternyata bisa didekati dengan cara pandang berbeda.

Vakansi juga dapat digunakan untuk quality time dengan rekan-rekan seperjalanan. Bisa jadi mengukuhkan pengenalan terhadap karakter yang kita ketahui atapun melihat sisi karakter lainnya.

Maka termin vakansi kantor istri saya pun terasa menyenangkan. Dikarenakan tidak terlampau ngoyonya untuk menghabiskan waktu untuk ke titik-titik tempat wisata. Ada momentum di mana diberikan kebebasan waktu bersama keluarga inti.

Maka termin vakansi ke Yogyakarta di tahun 2020 pun terasa menyenangkan. Dalam takaran yang pas itinerary. Dengan formasi yang ada maka kunjungan ke Kopi Klotok Pakem Sleman, Alamanda Jogja Flower Garden, Tempo Gelato, Taman Pintar, Keraton Yogyakarta, Waroeng Omah Sawah, Kebon Ndalem begitu mantap betul.

Bawa Aku ke Ibu Kota Baru

Kau lihat pilar-pilar itu telah dibangun. Narasi digembungkan tentang segala yang indah-indah. Narasi bak utopis yang akan kau temukan dalam pemikiran Robert Owen. Kau tahu ada pembatasan tertentu nantinya. Demi menjaga ekosistem, daya topang wilayah, tata kelola kota yang baik, pembatasan warga di ibu kota baru itu dilakukan.

“Bangsat!” rutukku setelah menyalakan rokok. Ah iya harga rokok yang kuisap pun mengalami penyesuaian harga. Aku melakukan framing dalam kata ‘penyesuaian harga’ sembari menimang-nimang masa hidupku di era ‘baru’ yang berapa dekade lalu ditumbangkan.

Tentu teman rokok adalah kopi. Dan hujan menggerimis di ibu kota “lama” ini. Aku pun bertanya dalam hati, jangan-jangan seharusnya hujan deras, tapi karena modifikasi cuaca itu, eh hujan jadi gerimis aje. Yap narasi banjir pun ikut terangkut dalam perbincangan publik ibu kota baru dan ibu kota “lama” ini.

Ah iya aku belum menjelaskan kenapa aku mengatakan ‘bangsat’ barusan. Aku termasuk tak percaya dengan narasi indah-indah yang diguyurkan ke publik tentang ibu kota baru itu. Kalian pasti mengira aku memilih si penantang yang telah berkali-kali tumbang itu di pilpres kemarin. Tidak, aku memilih sang petahana. Pertimbanganku pragmatis saja kala itu; ekonomi, uang. Aku cukup nyaman dengan tata kelola ekonomi dan relasinya denganku sebagai pengusaha. Tapi kini aku berhitung dengan wacana ibu kota baru. Kalian jangan bayangkan aku pengusaha kaliber berat atau setara dengan 9 naga itu. Aku hanya pengusaha model tanggung dengan beberapa karyawan yang canggung. Canggung karena sebenarnya mereka tidak ahli-ahli amat dengan tugas sehari-hari yang mereka lakukan.

WhatsApp Image 2018-07-31 at 6.09.09 PM

Bisnisku tentu dari kedekatan dengan pns-pns pusat itu. Bayangkan jika benar pindah domisili ibu kota, berapa yang harus kukeluarkan untuk pindah ke sana. Padahal rumahku di “planet lain” itu masih mengangsur dengan waktu tahunan. Para karyawanku yang canggung pun belum tentu mau pindah ke sana (kalaupun kami jadi pindah). Mungkin beberapa dari mereka memilih hidup di pulau yang paling padat penduduknya saja.

Aku sudah melihat tentang sayembara desain ibu kota baru itu. Segala permukiman yang akan dibangun. Lalu di manakah tempatku para ersatz capitalism menurut istilah Yoshihara Kunio. Ersatz capitalism dengan kasta sedang-sedang saja.

“Bangsat,” rutukku dalam hati, kemudian mematikan rokok. Aku pun menyiapkan sepedaku untuk menuju MRT yang katanya merupakan salah satu solusi kemacetan di kota yang penduduknya lebih dari 10 juta ini.

<><><><>

Kalfa (Kaldera Fantasi) merupakan komunitas dengan titik fokus pada fiksi fantasi. Ada beberapa distrik yang kami coba jelajahi yakni: Buku-Film-Games-Japan/Anime-Komik.

Hadir juga di: facebook (groups/kalfa)

{fin}

Buku Tamat Baca

Melihat postingan Klub Buku Narasi tentang berapa banyak buku yang dibaca pada tahun 2019, saya pun merasa agak kurang dalam daya jelajah buku pada tahun 2019. Pada tahun-tahun sebelumnya saya memiliki kebiasaan untuk mengumumkan buku yang baru saja saya tamatkan baca. Hal tersebut berhulu dari menurut hemat saya masih kurang gregetnya warga Indonesia dalam kebiasaan membaca. Maka saya pun coba berperan dengan mengumumkan buku yang saya tamatkan baca. Moga-moga dapat menjadi bola salju kegemaran membaca.

Data kurang gregetnya warga Indonesia dalam membaca yang terbaru dirilis melalui studi PISA. Mengenai datanya bisa disimak di berbagai laman. Terkait studi PISA tersebut, saya pun sempat bertanya dalam hati ‘bukankah telah ada gerakan literasi sekolah’? Tentu diperlukan pisau analisa untuk melihat korelasi gerakan literasi sekolah dengan output studi PISA terbaru.

Baiklah kembali ke buku tamat baca, kalau boleh berdalih untuk tahun 2019, saya kembali menggiatkan membaca koran dan majalah. Saya pun berlangganan kembali koran Republika dan majalah Tempo. Tentu ada hari-hari di mana koran dan majalah tersebut sekadar tertumpuk, luput dari bacaan. Namun paling tidak saya tetap memelihara daya baca dan terkoneksi dengan isu-isu kekinian.

Akan tetapi tetap ada dimensi yang hilang ketika melongok minimnya buku yang saya tamatkan dibandingkan tahun yang sudah-sudah. Membaca buku menurut hemat saya bak melakukan lari maraton. Dibutuhkan stamina yang lebih panjang untuk merampungkannya. Di samping itu kita seakan dibawa ke alam pikiran si penulis. Ketika buku ditutup, ada ‘kegatalan’ tertentu untuk melanjutkan membaca dan keingintahuan tentang halaman-halaman berikutnya. Saya pun melakukan percakapan internal dengan diri sendiri tentang buku tersebut. Menelaah pikiran dan konsep dari buku.

Koran, majalah, buku, memiliki ‘semesta’ kelezatannya masing-masing. Saya berharap di tahun 2020 ini bisa berada di area membaca yang mampu menempuh lini-lini tersebut. Hal itu dikarenakan membaca ragam itu juga amunisi dari pekerjaan saya, menulis. Menulis yang legit diantaranya dikarenakan pustaka yang beragam. Ada kedalaman tertentu dalam tiap lapis hurufnya. Saya bersyukur di Rabu, 8 Januari 2020 ini, 1 buku telah saya tamatkan. Semoga tetap bisa istikamah merampungkan buku-buku lainnya.

Bagaimana dengan Anda, berapa buku yang sudah ditamatkan baca pada tahun 2019?

Merakit Kata-kata

Merakit kata-kata. Aku menyusunnya dengan cara saksama. Apakah kau tahu itu serupa meniupkan ruh cerita ke lempung-lempung yang semula sunyi. Untuk kemudian cerita tertera. Kau tanya dari mana semua ini bermula? Ini dapat berhulu dari pengalaman pribadi, cerita sahabat, bacaan sana-sini, imajinasi, dan sebagainya, dan lain-lain; lalu dibuhul menjadi suatu cerita yang utuh. Beberapa hal bumbu dramatisasi. Beberapa kisah heroik. Selaksa amarah yang terpendam dan disembunyikan.

Lalu kalian dapat melihat warna dari ceritanya dan menafsirkannya dengan interpretasi masing-masing. Tak harus serupa. Karena setiap orang punya disparitas pengetahuan, perbedaan pengalaman, pemahaman.

Senyumku utuh manakala cerita rampung. Seperti sebuah centangan telah melakukan sesuatu. Akankah bermuara ke mana cerita-cerita itu? Aku tak tahu. Mungkin ada ketakutan tertentu lenyap tak berbekas. Abadi adalah delusi.

Tapi tidak dengan kali-kali ini. Sumur inspirasi itu seakan mengering. Kata-kata menemui tembok buntu. Apakah aku berhenti percaya pada kekuatan kata-kata? Yang ada adalah desingan media sosial yang saling menumpuk. Tren di sana, tren di situ. Kejadian di timur jauh, keadaan di timur dekat, seakan kita harus tahu, mengerti, dan berpendapat semua.

Narasi wacana menjadi kerontang. Siapa juga yang mau membaca dengan cara saksama cerita berat macam begini. Istirahatlah kata-kata.

Kopi diseduh, bahan bacaan ditumpuk, lamunan dihidupkan, media sosial dimatikan. Sudahkah aku kembali utuh menjejak ke atmosfer narasi cerita yang disulam. Setiap kita adalah storyteller dengan caranya tersendiri, dalam level dan caranya tersendiri. Maka ketika tokoh-tokoh dalam lencana cerita meredup dari siklus keseharian dan wira-wiri di kepala, maka ada sesuatu yang hilang dalam diri penulis.

Tinta telah kembali digoreskan, laptop menyala dengan tokoh-tokoh yang membawa kata. Mari menggiatkan diri, sediakan waktu. Dibutuhkan ruang-ruang kreasi untuk menyalurkan pikiran, perasaan, pengetahuan, emosi. Maka selamat merakit kata-kata.