Kopi Hitam yang Tumpah di Atas Papan Catur

Di papan catur kita bertemu

Berjabat tangan

Senyum hormat

            Kali pertama, ku ketahui,

            Kau seserius itu

            Maniak dengan duniamu

            Detak detik yang berdetak

            Langkah-langkah yang kau perhitungkan masak-masak

            Kita remis saat itu

            Kita tahu akhir dari ‘Si Putih’ & ‘Si Hitam’

            Saling terkunci

Dan mulai mengenallah kita

Tentang mengapa kau suka catur

Mentor-mentormu

Latihan-latihan panjangmu

Kau yang bergiat menghadapi lawan dari sudut mana saja

“Kau perlu punya memori menghadapi lawan dengan langkah terduga & tak terduga,” katamu memberi alasan

            Aku? Sesekali menjadi mitra informal latih tandingmu

            Sembari berbicara tentang catur & bukan catur

            Mencicil pertemuan & telusur bak lapis bawang yang terkuak

Bagiku catur adalah hobi

Bagimu obsesi

Aku dapat bermain catur sembari menyesap kopi

Sedangkan kau, dengan pena & kertas,

Mencatat, mencoret-coret segala kemungkinan & rangkaian masa lalu

            Adakah aku bisa terus melaju untuk kita?

            Seperti pion yang mendekat selangkah demi selangkah?

            Bahaya di perjalanan tentu ada

            Di 64 kotak persegi itu, warna yang berbeda dapat menerkam

            Dari pion sampai raja – para karnivora sejati

Seperti lusinan pertemuan:

“Kau tahu, catur tentang pengorbanan”

“Tujuannya, sebisa mungkin menang”

“Siapa pun dapat dikorbankan”

“Dari pion sampai menteri ada dalam kuasaku untuk ku korbankan”

“Aku suka memegang kendali itu”

Ia bermonolog

            Kuteguk kopi pahitku

            “Ini jawaban atau pertanyaan?” tanyaku dalam hati

Tibakah di Tanah Harapan?

‘Izinkan kami masuk’

Desak orang-orang itu

Mereka yang mencari tanah harapan

Mengarungi kilometer

Daratan

Langit yang berubah warna

Lautan, samudra

            Bertaruh

            Mau apa lagi

            Itu cara mereka untuk bertahan hidup

            Menyongsong hari esok, yang harapannya lebih baik

Alasan?

Represi negara

Faktor ekonomi

Perang & konflik

Lari atau mati

Sisanya, silakan kau tambahkan lagi

            Di perjalanan, rupa-rupa kejadian terjadi

            Ada yang ditinggalkan karena sakit

            Ada yang mati tenggelam

Sampailah rombongan lelah tapi penuh harap itu di sini

Tempat yang konon katanya ‘Gerbang’

            Negara lainnya, suaka?

            Melalui “tangan-tangan lainnya”, mereka ditolak, tertolak

            Bagaikan karambol yang memantul dari satu negara ke negara lain

            Berayun dari peliknya administrasi negara A ke rumitnya faksi politik negara B

Maka, rombongan itu memilih jalan putus asa, atau justru yang paling rasional?

Dengan memilih jalur & ‘Gerbang’ ini

            ‘Izinkan kami masuk’

            Desak orang-orang itu

            Lelah raga, lelah mental, membuat mereka menyuarakan macam begitu

Syahdan, di balik ‘Gerbang’ terdapat negeri makmur lagi adil

Negeri yang ada pada mitos, cerita-cerita di perapian

Namun, nyata, ilusi, delusi dapat tergodok dalam ramuan yang sama: harapan & ketakutan

            ‘Tidakkah kau dengar suara musik itu?’

            “Kami tidak mendengar apa-apa,” sergah orang-orang lainnya

            “Tidakkah kau dengar nama kita dipanggil?,” ujar suara-suara lainnya dari rombongan itu

Nyata

Ilusi

Delusi

‘Gerbang’ itu, muara dari harapan & ketakutan

Jadi, bagaimana menurut tuan & puan?

Nyata? Ilusi? Delusi?

Koper Kecil Si Bung

Koper kecil yang selalu kau bawa

Apa isinya?

Kau yang senantiasa rapi

            Kau yang senantiasa terukur

            Senantiasa presisi

            Pun begitu dengan kata-kata yang rima serta jumlah katanya begitu merapat erat akurat

Sampai suatu pagi, koper kecilmu itu bersandar rapi

Seakan memanggil naluriku untuk membukanya

            Menjadi ‘cinta cadangan’

            ‘Cinta lapis kedua’

            Memenuhi sisi liarmu

            Aku tahu diri

Tapi, siapa yang tak tergoda untuk mobilitas vertikal itu?

Kilau kekayaan, prestise, lapis sosial atas

            Bertengkar?

            Tentu saja sesekali itu terjadi

            Permasalahan?

            Disapu di bawah karpet

Sampai suatu pagi, koper kecilmu itu bersandar rapi

Seakan memanggil naluriku untuk membukanya

            Ku coba membukanya

            Apa ya kira-kira nomor kode pembukanya?

            Setengah bertaruh, setengah berharap ku putar nomor kode sesuai tanggal lahirku

Ia mengingat tanggal lahirku

& kami merayakan dengan cara tersendiri di tiap tahun

Selalu ada waktu di saat itu

Selalu ada kejutan di saat itu

            Koper kecil tak terbuka dengan nomor kode tanggal lahirku

            Setengah bertaruh, ku pikir, tanggal lahir anaknya adalah kode pembuka kopernya

            Anak yang selalu dikhawatirkannya

            Anak yang menjadi jangkar & alasan mengapa ia masih bertahan di kapal keluarga yang telah limbung

Koper kecil itu masih belum juga terbuka

Satu kesempatan tersisa

Tinggal satu lemparan dadu yang masih ada

Bila salah, terkunci permanenlah

            Aku yakin dengan pilihan angka terakhir ini

            Tapi aku tak berharap nomor tersebut adalah kodenya

            Tanggal lahirnya

            Puncak egonya

            Episentrumnya adalah: saya, saya, saya

            Pusat semesta adalah dirinya, bukan geosentris ataupun heliosentris

Klik, klop, koper kecil itu terbuka

            Apa yang ku harapkan, ketika koper itu terbuka?

            Jawaban atas segala pertanyaanku tentang ujung hubungan ini

            Atau aku berharap koper ini selamanya tak ku ketahui isinya

            Seperti enigma agung dengan tirai abadinya

            Atau koper ini seperti di film Mission: Impossible

            Yang akan musnah dalam hitungan detik ketika dibuka

Koper kecil itu terbuka

            Apa isinya

            Isinya hampa

            Hanya aroma dengan warna di udara yang menguar kala koper itu terbuka

            Begitu ku kenali aroma itu: bau tubuhnya

Bau aslinya

Aroma otentiknya

Tanpa parfum ataupun sabun yang mengaburkan aroma presisi dirinya

            Sudah 4 purnama sejak koper kecil itu terbuka

            Ia seperti hilang ditelan bumi

            Nomornya tak dapat dihubungi

            Media sosialnya, hanya pertanyaan, ‘kemana bung ini’

Setelah 4 purnama menjelang

Ku beranikan untuk melihat rumahnya, tempat tinggal anak & istrinya

Dari kejauhan, mobilku terparkir rapi mengamati

Entah bagaimana keseimbangan baru seperti telah terbentuk di situ

Hari-hari tanpa Si Bung

            Di buku diary-ku, visual tanda tanya ku gambarkan

            Kemana Si Bung?

            Ke Saranjana?

            Mati tanpa kabar di tanah bumi mana?

            Melarikan diri?

            Atau jangan-jangan moksa?

Andai koper kecil itu dapat bicara

Akan ku interogasi si koper

            Ku ketuk koper itu

            Ku bisikkan pelan,”Siapa dirimu sebenarnya? Kotak Pandora? Jadi kotak Pandora telah terbuka?”

Sang Penerka

Kata-kata mati di hadapannya

Manusia yang mampu menerka

            Ada si penjual dengan klaim nomor satunya

            Dusta

            Manusia itu curiga pada segala sepuhan kata & klaim jemawa

Manusia irit kata itu memindai dari apa yang terlihat, membaui aroma, mendengar dengan saksama – yang tersirat, yang tersurat

Sesekali saja ia bertanya,

Tapi itu adalah jantung kata-kata

            Di balik senyumnya ketika mengajukan tanya

            Manusia itu sedang mengulitimu

            Membedahmu dalam analisa menyeluruh

Manusia itu menatap matamu lekat

Mencari sisi gelap Pinokiomu

Mencari tahu “udang di balik batu”, “rubah & singa” di dalam jiwamu

Manusia Biasa di Panel Komik

Seandainya semua semudah itu

Thanos yang menjentikkan jari

Aneka solusi dari kantong Doraemon

Mesin waktu yang akan memperbaiki salah di masa lalu

            Seandainya sekuat itu

            Perisai Vibranium Captain America

            Yang menjaga dari luka fisik & luka jiwa

Seandainya sebebas itu

Terbang menyambut matahari bak Superman

Mengayun di gedung tinggi seperti Spider-Man

            Manusia-manusia rapuh di hadapan

            Dengan imajinasi menjurus utopis

Tak mengapa

Sesekali singgah di panel komik

            Menjadi manusia memang melelahkan

            Capek

            Tapi, semoga ada serunya juga lah

<><><><><><><> 

Kalfa (Kaldera Fantasi) merupakan komunitas dengan titik fokus pada fiksi fantasi. Ada beberapa distrik yang kami coba jelajahi yakni: Buku-Film-Games-Japan/Anime-Komik.

Hadir juga di: facebook (groups/kalfa)

{fin}

Apa yang Dilakukan Kota Padamu?

Bertemu lagi kita

Setelah rentang waktu membentang

Siapa kamu

Atau malah siapa aku?

            Apa yang dilakukan kota padamu?

            Kau yang tak ku kenali lagi

Kota telah membentukmu

Atau membusukkanmu?

            Deretan diksimu yang terlihat megah

            Beberapa tak ku mengerti

            Lalu, adakah kata-katamu sejalur dengan tindakan?

Kau tertawa,

“Itu namanya opportunity,” katamu

“Kata Machiavelli, sekali waktu kau jadi singa”

“Sekali waktu kau jadi rubah”

            Bila rekaman kata-katamu disandingkan bersama waktu,

            Seolah kau bertikai dengan diri sendiri

            Beda pagi, beda siang, beda sore, beda malam: kata-katamu

Ku sandarkan kepalaku ke padang rumput

Bintang yang berkelap-kelip

Bentang angkasa

            Apa yang dilakukan kota padamu?

“Adakah kau mengenalku dengan sungguh?” katamu balik bertanya

“Utuh seluruh,” imbuhmu menatap mataku

            Suara-suara yang selama ini tak ku tangkap dengan sungguh

            Seakan berada di bawah radar pendengaran

            Suara hatinya yang merintih di tempat kelahiran kami

“Kota telah membentukku,” katanya optimis

“Kota telah mematangkanku”

“Sedangkan tanah kelahiran kita, membusukkan, membelenggu”

“Apa yang bisa kita lakukan di sini?” selidik tanyanya

            “Kota telah membusukkanmu,” protesku

            “Tapi, di sini, aku juga ‘mati di lumbung sendiri’,” lanjut kataku dalam hati

Kita yang sama-sama kalah

Kita yang sama-sama lelah

Kita yang sama-sama jengah

Kita yang sama-sama resah

Meletus Balon Karena Kaktus

Di tanganku, kaktus itu mati

Konon katamu, aku tak sabaran

            Menyirami kaktus dengan kata-kata kebaikan

            Tepat waktu menyiramnya

            Tepat ukuran menyiramnya

            Serta posisinya dari cahaya matahari

Aku benci dengan kegagalan

Ataupun tumbangnya sebuah rencana

Kaktus itu padam begitu cepat

            Apa yang ada di tanganmu?

            Benih-benih tanaman lainnya

            Kau tebarkan

            Kau rawat dengan sungguh

            Merekah

            Tumbuh

“Kembali lagi kesini, kalau kau sudah mampu menjaga kaktus,” pesannya dengan senyum bak bunga matahari

Kaktus tak cuma botani ternyata

Ada yang salah dengan diriku

Apa yang ku sentuh menjadi abu

Lalu, Kita Tersadar Puzzle Ini tentang Apa

Bersama kita rakit puzzle itu

Bagian demi bagian

Berbagi tugas

Berencana

Berkomunikasi

Saling menyalahkan

            Ada warna yang begitu serupa

            Klasifikasi

            Siapa mengerjakan apa

Lalu, kita tersadar puzzle ini tentang apa,

Sebuah kota yang terbakar

Tapi aku sibuk bermain biola

Dan senyummu yang bertukar warna

“Biarkan terbakar. Bukankah dari abunya akan muncul awal yang baru,” sabdamu

            Puzzle itu kita biarkan rumpang

            Seperti Yosan yang tak kunjung menemukan huruf ‘N’-nya

            Menganga, dengan kepingan yang kita simpan sendiri-sendiri

Fana, Kenangan, Telepon Umum

Yang fana adalah benda-benda itu

Tidak dengan kenangan

Menetap di ingatan

Diamplifikasi dengan karya

            Telepon umum, dimana kini harus ku cari?

Dalam kisah-kisah fantasi, telepon umum ambil peran

Clark yang berubah jadi Superman

 Pintu masuk ke Kementerian Sihir di Harry Potter

 Si Dilan mengirimkan rayuan via telepon umum

Masa itu, koin, telepon rumah

Orang yang kau hubungi

Ada masa menunggu

Serta tak senantiasa terhubung & terkoneksi

Wajah generasi

 Wajah zaman

Yang fana adalah telepon umum

Kenangannya masih kita genggam erat-erat