Bajingan, Pinokio, dan Pakaian Baru Raja

Ada berbagai kisah yang seolah ditujukan untuk anak-anak. Namun, setelah ditimang-timang dan jika diselami sesungguhnya kontekstual dengan segala umur.

Ada Pinokio.

Ada “Raja yang Bodoh” atau “Pakaian Baru Raja” sebuah cerita pendek yang ditulis oleh pengarang Denmark Hans Christian Andersen, tentang dua penata busana yang menjanjikan sebuah busana baru kepada seorang kaisar yang mereka katakan tak terlihat bagi orang-orang yang tak berpendirian pada posisi mereka, bodoh, atau tak kompeten. Saat raja berpawai memakai busana barunya, tak seorang pun yang tak berkata bahwa mereka tak melihat busana padanya karena takut mereka dipandang “tak berpendirian pada jabatan mereka, bodoh, atau tak kompeten”. Pada akhirnya, seorang anak merengek, “Namun, ia tak mengenakan apapun!”

Adapun Pinokio secara sederhana merangkum tentang kebohongan. Si bohong dan hidung panjang. Dalam konteks kekitaan dan kekinian, bukankah bohong senantiasa membujur sepanjang episode kehidupan? Entah itu oleh orang lain ataupun kita sendiri.

Saya pribadi berada dalam taraf jenuh pada kebohongan. Dahulu, saya masih berpendapat bahwa mereka yang terampil berbicara adalah orang yang hebat, layak menjadi pemimpin, dan segala baiknya. Dan mungkin karena asam garam kehidupan, waktu, saya pun berada pada pemahaman, untuk menjadi curiga pada mereka yang terampil berbicara. Dikarenakan sejauhmana mereka berbohong di antara selipan kata-kata yang ada.

Salah satu analisa saya pada mereka yang terampil berbicara kemudian berbohong, adalah menjejalkan narasi-narasi mereka. Membangun ekosistem di pikiran kita untuk mengikuti alur keinginan mereka. Ah lihai benar mereka mengarahkan, membentuk, mengelabui.

Dan pada titik perenungan, saya pun berkata tidak, cukup, untuk semua dusta-dusta yang dirajut itu.

Meski begitu setelah dipikir-pikir ternyata mereka yang terampil bicara dan berdusta itu, memiliki akses, entah itu kekayaan, kekuasaan, status sosial, dan lain-lain.

Apakah harus berbohong untuk berada di posisi tersebut?

Lalu tentang kisah “Pakaian Baru Raja”. Seberapa lancar dan lantang kita untuk mengatakan yang sebenarnya kepada mereka yang memiliki kekuasaan. Kekuasaan dalam berbagai taraf, tahap. Sehingga yowislah, malas mencari-cari masalah, biar tak sesuai dengan logika-nurani tapi mau gimana dia yang punya kuasa.

Merdeka, mardika, sejauhmana kita memaknainya?

Di samping itu terbentur kebutuhan diri, keluarga, status sosial.

Lirik lagu “Bertaut” pun terngiang-ngiang:

Bun, hidup berjalan seperti bajingan

Aku tak ingin menjadi bajingan itu. Yang pandai berdusta ataupun mendiktekan kebenaran dan “fakta” seperti si raja dalam kisah “Pakaian Baru Raja”.

Biar hidup berjalan seperti bajingan, aku ingin selamat dunia-akhirat. Dan semoga aku tidak berbohong melalui tulisan ini.