Posted in Cerpen, Ekonomi, Fiksi Fantasi, Politik, sastra, Sejarah, Sosial Budaya

Bawa Aku ke Ibu Kota Baru

Kau lihat pilar-pilar itu telah dibangun. Narasi digembungkan tentang segala yang indah-indah. Narasi bak utopis yang akan kau temukan dalam pemikiran Robert Owen. Kau tahu ada pembatasan tertentu nantinya. Demi menjaga ekosistem, daya topang wilayah, tata kelola kota yang baik, pembatasan warga di ibu kota baru itu dilakukan.

“Bangsat!” rutukku setelah menyalakan rokok. Ah iya harga rokok yang kuisap pun mengalami penyesuaian harga. Aku melakukan framing dalam kata ‘penyesuaian harga’ sembari menimang-nimang masa hidupku di era ‘baru’ yang berapa dekade lalu ditumbangkan.

Tentu teman rokok adalah kopi. Dan hujan menggerimis di ibu kota “lama” ini. Aku pun bertanya dalam hati, jangan-jangan seharusnya hujan deras, tapi karena modifikasi cuaca itu, eh hujan jadi gerimis aje. Yap narasi banjir pun ikut terangkut dalam perbincangan publik ibu kota baru dan ibu kota “lama” ini.

Ah iya aku belum menjelaskan kenapa aku mengatakan ‘bangsat’ barusan. Aku termasuk tak percaya dengan narasi indah-indah yang diguyurkan ke publik tentang ibu kota baru itu. Kalian pasti mengira aku memilih si penantang yang telah berkali-kali tumbang itu di pilpres kemarin. Tidak, aku memilih sang petahana. Pertimbanganku pragmatis saja kala itu; ekonomi, uang. Aku cukup nyaman dengan tata kelola ekonomi dan relasinya denganku sebagai pengusaha. Tapi kini aku berhitung dengan wacana ibu kota baru. Kalian jangan bayangkan aku pengusaha kaliber berat atau setara dengan 9 naga itu. Aku hanya pengusaha model tanggung dengan beberapa karyawan yang canggung. Canggung karena sebenarnya mereka tidak ahli-ahli amat dengan tugas sehari-hari yang mereka lakukan.

WhatsApp Image 2018-07-31 at 6.09.09 PM

Bisnisku tentu dari kedekatan dengan pns-pns pusat itu. Bayangkan jika benar pindah domisili ibu kota, berapa yang harus kukeluarkan untuk pindah ke sana. Padahal rumahku di “planet lain” itu masih mengangsur dengan waktu tahunan. Para karyawanku yang canggung pun belum tentu mau pindah ke sana (kalaupun kami jadi pindah). Mungkin beberapa dari mereka memilih hidup di pulau yang paling padat penduduknya saja.

Aku sudah melihat tentang sayembara desain ibu kota baru itu. Segala permukiman yang akan dibangun. Lalu di manakah tempatku para ersatz capitalism menurut istilah Yoshihara Kunio. Ersatz capitalism dengan kasta sedang-sedang saja.

“Bangsat,” rutukku dalam hati, kemudian mematikan rokok. Aku pun menyiapkan sepedaku untuk menuju MRT yang katanya merupakan salah satu solusi kemacetan di kota yang penduduknya lebih dari 10 juta ini.

<><><><>

Kalfa (Kaldera Fantasi) merupakan komunitas dengan titik fokus pada fiksi fantasi. Ada beberapa distrik yang kami coba jelajahi yakni: Buku-Film-Games-Japan/Anime-Komik.

Hadir juga di: facebook (groups/kalfa)

{fin}

Author:

Suka menulis dan membaca

Leave a comment