Posted in Cerpen, Fiksi Fantasi, Jalan-Jalan, sastra

Seribu

Tiba aku di situ dengan tanya di kepala. Aku perlu menenangkan diri. Mencari jawab.

Mi yamin, teh serai menemaniku. Alun suara lagu yang silih berganti, membawa darah untuk tenang sekaligus bersemangat.

Mengapa aku di sini? Mengapa aku suka tempat ini? Apakah karena rona warna bangunannya yang senada? Atau menyajikan santai di teras rumah sambil bersantap.

Ingatanku terdampar di masa lalu. Dari beranda rumah, melihat lalu lalang kendaraan. Ikatan emosi, memori lawas yang dimekarkan kembali di sini.

Sewu Mangkok, itu nama tempat ini.

Tahukah kamu Lawang Sewu sesungguhnya tidak seribu pintu? Ada 425 kusen dan 928 daun pintu itu faktanya.

Tahukah kamu Kepulauan Seribu sebenarnya tidak mencapai 1.000? Kalau sekarang tinggal tersisa berapa ya? Jangan-jangan tenggelam beberapa lagi, efek pemanasan global. Siapa yang peduli? Siapa yang mau menghitung lagi?

Tiba aku di sini dengan tanya di kepala. Lagu Sewindu dari Tulus mengalun menyeruak dari pelantang musik. Apakah ini pertanda bagiku untuk balik kanan? Telah seribu cara kulakukan untuk mencari jalan ke hatimu, tapi pintu itu senantiasa terkunci.

Author:

Suka menulis dan membaca

Leave a comment